Anggota Komisi I DPR RI, Syamsu Rizal, menegaskan bahwa wacana memperluas ruang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil dalam revisi Undang-Undang (UU) TNI harus diiringi dengan pembatasan yang ketat. Menurutnya, penempatan seseorang dalam jabatan seharusnya didasarkan pada prinsip meritokrasi dan analisis kebutuhan, terutama untuk posisi yang memerlukan kualifikasi tertentu. Ia menegaskan bahwa fungsi utama TNI sebagai penjaga pertahanan negara tidak boleh tumpang tindih dengan profesionalisme di sektor sipil.
Lebih lanjut, Syamsu Rizal menjelaskan bahwa analisis kebutuhan ini dapat menjadi landasan bagi penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil, dengan syarat mendapat persetujuan dari Presiden. Dengan adanya mekanisme ini, pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI tidak terkesan sekadar pembagian posisi, tetapi lebih pada semangat pengabdian. Ia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara peran optimal TNI dan prinsip supremasi sipil, agar masyarakat tidak menaruh kecurigaan atau antipati terhadap institusi militer.
Politikus yang membidangi pertahanan, komunikasi, luar negeri, dan intelijen ini juga menyoroti bahwa UU Nomor 34 tentang TNI yang masih berlaku saat ini telah mengatur bahwa prajurit TNI yang mengisi jabatan sipil harus memenuhi persyaratan kompetensi serta melalui proses seleksi yang transparan. Ia menilai mekanisme seleksi harus melibatkan tim verifikasi independen untuk mencegah praktik nepotisme maupun intervensi politik. Ia mengingatkan bahwa pembahasan ini harus dilakukan dengan cermat demi menjaga keutuhan bangsa, tanpa mengabaikan semangat reformasi TNI pasca-Orde Baru.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan agar 15 kementerian atau lembaga dapat diisi oleh prajurit TNI aktif dalam revisi UU TNI yang dibahas bersama Komisi I DPR pada 11 Maret. Saat ini, berdasarkan regulasi yang berlaku, hanya ada 10 institusi yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif.